Rabu, 28 Desember 2011

“HOME SWEET HOME” (ketika di Papua: 1968-1969)

“O-Sinim,hule-o, hule-o ,who-a –wo. . .= Nampak asap dipemukiman Sinim artinya Seseorang berdiam di Sinim (merupakan bait pertama dari sebuah Lagu Rakyat Penduduk Dani, lembah Heage di Papua)


Selama melakukan penelitian Antroplogi pada kelompok Orang Dani di Lembah Heage,Daerah Jurang2 Baliem- Papua, saya menetap di sebuah bukit pada titik tertinggi dilembah ini agar lebih mudah observasi /meng-amat2i semua kegiatan penduduk diseluruh lembah dan bisa cepat mendatanginya .Saya berdiam dalam rumahku yang berbentuk Honay raksasa, (a)n-O-uma bernama Sinim.



Pemandangan dari tempat ini meliputi seluruh lembah, dari sungai Heage(anak sungai Baliem) yang terletak kurang dari 2000 m dpl sampai kepegunungan Sudirman (disebut “Tom Molopug” artinya Gunung Putih) yang ketinggiannya diatas 4300 m dpl.



Rumahku dibangun oleh penduduk setempat secara Gotong Royong , tradisional dengan bahan2 setempat berupa kayu, akar2an,tanaman merambat, rotan dan rumput.tanpa menggunakan paku..Pembangunan berdasarkan nilai2 budaya dan arsitektur setempat,, tetapi atas saran2 ku, ukurannya besar dan tinggi berpintu dua dan berjendela dua, Garis tengahnya 8 m dan tingginya lebih dari 8 meter, (sedangkan Honay tradisional mereka rata2 tidak lebih dari 4,5 m garis tengahnya dan tinggi 3,5 m.).

(photo by Prof.Karl Heider)



Adapun dinding rumahterbuat dari papan kasar , yang dikerjakan dengan cara menebang pohan memakaibeliung batu, dan membelahnya dengan kapak batu serta merekahkannya dengansemacam “linggis’ terbuat dari kayu keras.Papan ditancapkan ketanah dalambentuk melingkar, serta diikat dengan ranting lentur dan akar2 gantung pohon2tertentu. Atapnya dari rumput.
Khusus untuk rumahku, yang memakai dua pintudan dua jendela , dipakai pasak2 kayu keras pengganti paku. ( dipakai juga untukdaun meja).Untuk lantai dipakai batang Nibung yang dicacah.

(photo: Felling a tree and splitting wood by: Prof.Karl Heider)

Untuk rumahku, kurancangkan atap bertingkat dua supaya asap bisa keluar dengan leluasa. Diatas perapian kubuat semacam bentuk pyramid papan untuk menampung asap yang disambung kesebuah corong/selongsong (terbuat dari kulit kayu tebal , yang ujunungnya ditahan 2 kaleng mentega 2 kg, dan dikeringkan) Perabot2 berupa rak, meja ,bangku semua dibuat dari kayu serta papan kasar dan pasak2 kayu keras.


Terpisah dari bangunan induk dibangun “lesoma” dapur dan sebuah bangunan bulat seperti gardu, yang kujadikan kamar mandi;, selain itu terdapat tiang jemuran dengan tali 2 rotan sebagai tempat jemuran pakaian.

Sebuah lapangan “Asilimo” yang dapat menampung ratusan orang mengelilingi rumahku diatas bukit Sinim dengan tiga sisi dibatasi jurang dan satu sisi punggung gunung yang rata dengan bukit, ditumbuhi hutan belukar.

Pada ahir pembangunan rumah kupuinjam gergaji dan gurdi pada sahabat dan tetangga ku terdekat.Myron Bromley,,seorang ahli bahasa dan penginjil yang berdiam di Tangma, sebuah lembah setengah hari perjalanan dari lembah Heage arah ke Wamena.





Minggu lalu ku bertemu dengan seorang mahasiswa Papua yang telah tamat pendidikan pada Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri di Jakarta, saat ini siap wisuda.bernama Yuli Asipalek, kebetulan dia adalah cucu dari anak piaraku di lembah Heage 42thn yang lalu; Meiyum Helukwa.

Menurut Yuli, rumahku di Sinim tak ada lagi, tetapi “Asilimo” diatas bukit Sinim ini masih tetap terpelihara dan dipakai sampai hari ini, untuk kegiatan penduduk, upacara2 atau lapangan bola, sebab lapangan inilah yang terbesar diseluruh Lembah Heage.


1 komentar:

Maz Praz mengatakan...

Bang Herman, salut dan selamat deh. Semoga masih inget, kita pernah seRIG di Zapata 33 tahun 1992 an....salam