All about Herman Lantang - His Life Journey - Passion - Idealism - Belief
Sabtu, 07 Januari 2012
“Pernyataan cinta dan Mas Kawin” di lembah Heage, pedalaman Papua. Oleh: Herman Lantang.
“Love expression and Bride Price” among the Heage-Dani, Inland Papua. by Herman Lantang.
"Pernjataan Tjinta Dan Mas Kawin" a la Lembah Heage, a story from the inland of New Guinea.


Rabu, 28 Desember 2011
“HOME SWEET HOME” (ketika di Papua: 1968-1969)
“O-Sinim,hule-o, hule-o ,who-a –wo. . .= Nampak asap dipemukiman Sinim artinya Seseorang berdiam di Sinim (merupakan bait pertama dari sebuah Lagu Rakyat Penduduk Dani, lembah Heage di Papua)
Selama melakukan penelitian Antroplogi pada kelompok Orang Dani di Lembah Heage,Daerah Jurang2 Baliem- Papua, saya menetap di sebuah bukit pada titik tertinggi dilembah ini agar lebih mudah observasi /meng-amat2i semua kegiatan penduduk diseluruh lembah dan bisa cepat mendatanginya .Saya berdiam dalam rumahku yang berbentuk Honay raksasa, (a)n-O-uma bernama Sinim.
Pemandangan dari tempat ini meliputi seluruh lembah, dari sungai Heage(anak sungai Baliem) yang terletak kurang dari 2000 m dpl sampai kepegunungan Sudirman (disebut “Tom Molopug” artinya Gunung Putih) yang ketinggiannya diatas 4300 m dpl.
Rumahku dibangun oleh penduduk setempat secara Gotong Royong , tradisional dengan bahan2 setempat berupa kayu, akar2an,tanaman merambat, rotan dan rumput.tanpa menggunakan paku..Pembangunan berdasarkan nilai2 budaya dan arsitektur setempat,, tetapi atas saran2 ku, ukurannya besar dan tinggi berpintu dua dan berjendela dua, Garis tengahnya 8 m dan tingginya lebih dari 8 meter, (sedangkan Honay tradisional mereka rata2 tidak lebih dari 4,5 m garis tengahnya dan tinggi 3,5 m.).
(photo by Prof.Karl Heider)
(photo: Felling a tree and splitting wood by: Prof.Karl Heider)
Untuk rumahku, kurancangkan atap bertingkat dua supaya asap bisa keluar dengan leluasa. Diatas perapian kubuat semacam bentuk pyramid papan untuk menampung asap yang disambung kesebuah corong/selongsong (terbuat dari kulit kayu tebal , yang ujunungnya ditahan 2 kaleng mentega 2 kg, dan dikeringkan) Perabot2 berupa rak, meja ,bangku semua dibuat dari kayu serta papan kasar dan pasak2 kayu keras.
Terpisah dari bangunan induk dibangun “lesoma” dapur dan sebuah bangunan bulat seperti gardu, yang kujadikan kamar mandi;, selain itu terdapat tiang jemuran dengan tali 2 rotan sebagai tempat jemuran pakaian.
Sebuah lapangan “Asilimo” yang dapat menampung ratusan orang mengelilingi rumahku diatas bukit Sinim dengan tiga sisi dibatasi jurang dan satu sisi punggung gunung yang rata dengan bukit, ditumbuhi hutan belukar.
Pada ahir pembangunan rumah kupuinjam gergaji dan gurdi pada sahabat dan tetangga ku terdekat.Myron Bromley,,seorang ahli bahasa dan penginjil yang berdiam di Tangma, sebuah lembah setengah hari perjalanan dari lembah Heage arah ke Wamena.
Minggu lalu ku bertemu dengan seorang mahasiswa Papua yang telah tamat pendidikan pada Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri di Jakarta, saat ini siap wisuda.bernama Yuli Asipalek, kebetulan dia adalah cucu dari anak piaraku di lembah Heage 42thn yang lalu; Meiyum Helukwa.
Menurut Yuli, rumahku di Sinim tak ada lagi, tetapi “Asilimo” diatas bukit Sinim ini masih tetap terpelihara dan dipakai sampai hari ini, untuk kegiatan penduduk, upacara2 atau lapangan bola, sebab lapangan inilah yang terbesar diseluruh Lembah Heage.
“HOME SWEET HOME” (in Papua: 1968-1969)
During my Field research in Anthropology among the Heage Dani Tribe*, at the Baliem Gorge in Papua, I settled on a hill, the highest settlement in the valley, called Sinim in a big “Honay”: (a)n-O-uma-‘my home ‘ *1968-1969
I’ve designed a small double roof on top of the doomed roof, so that the smoke could easily escape outside. We used hardwood pegs as nails to fasten the doors, windows, table, chairs and other home- made furniture; At the center above the fire place, I’ve designed a pyramid shaped wooden cap, to catch the smoke and build a funnel-( tube made of dried bark of a tree), attached to it all the way to the top, for smoke escape.
The laundry lines were made of rattan vines, tied on wooden polesMy “lesoma”- kitchen, and a round thatched roof bathroom were built separated from the main building.
The “Asilimo”- courtyard, was wide and flat to hold more than one hundred people. At one side of the “asilimo” was a forest on level ground, the rest were steep ravines encircling the courtyard.
To speed up the construction of this house I’ve used modern tools like a Steel Bow-Saw and a drill (borrowed from my nearest neighbor and friend: Myron Bromley, a missionary-linguist, who lives in Tangma, another valley half a day’s walk from Sinim towards Wamena.
Last week I met and talk to Yuli Asipalek – one of the Papua student just graduated from “Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri” in Jakarta, fortunately she is the grand- daughter of “Meiyum Helukwa “-my “anak piara”- adopted son, in Heageima, 42 years ago. Yuli told me, that my house in Sinim is gone now, but its Asilimo the largest flat and highest Court yard in the Valley is still used nowadays for public gathering place, festivals, or soccer field.
Senin, 21 November 2011
Planning to Climb The Snow Mountains in New Guniea (1968)









Share
Sabtu, 19 November 2011
Rencana Pendakian Puncak Bersalju di Papua pada 1968

Ketika berada di Papua, mengadakan riset Anthropologi pada Orang Dani ,di Heage-ima, daerah jurang2 Baliem(Baliem gorge) dari 1967-1969, surat2 Soe Hok-gie pada saya, ( sebagian besar sudah dipublikasi dalam buku: Memperingati 30 thn Musibah Semeru).Copy aslinya saya simpan, demikianpun Copy asli surat2 yang kukirimkan padanya, sebab yang kukirimkan hanya berupa Carbon Copy. Ketika itu saya membangun dan menetap dalam "Honai" raksasa di bukit Sinim, tepian barat Lembah Heage(anak sungai Baliem) dengan pemandangan Pegunungan Sudirman (Nassau) diatas ketinggian 4000 m dpl. Pada gambar disamping, saya hidup seorang diri berpartisipasi total (Total participation) dengan penduduk setempat dan berkomunikasi dalam Bahasa Dani-Selatan, dialek Kurima.Ini salah satu surat saya antara lain mengusulkan MAPALA mengadakan pendakian gunung2 bersalju di Papua, yang baru terlaksana awal 1972, yaitu tiga thn setelah Soe Hok-gie mendaki Semeru untuk tak kembali lagi pada 16 Desember 1969.







