Jumat, 23 Maret 2012

”Orang Rimbo”, Gajah, Harimau Sumatra dan Kisah ‘Si Buyung’



‘Orang Rimbo’ adalah sebutan Orang desa di Jambi (Bangko-Sarolangun) terhadap Orang Kubu, sedangkan’ orang Kubu’ menyebut dirinya sendiri ‘ Orang Sanak’



    Ngulung, (adik kandung Kitam), suaminya yang sakit demam ditinggal seorang diri oleh seluruh Kelompok.


sumber foto2: Co Rentmeester. LIFE magazine,Vol 72 No.18 May 12, 1972 pg 76,77; ‘Three faces of Indonesia’, a photographic essay by Co Rentmeester.1972 The Kubu tribe
dan Koleksi Pribadi.

Pada awal bulan Mei 1971, ketika masih aktif mengajar di Jurusan Anthropologi FSUI, saya ditugaskan Prof. Koentjaraningrat mengadakan Survey singkat( kurang dari sebulan) pada Sekelompok Orang Kubu di Jambi yang cara hidupnya berpindah2 (“Melangon”) , sekaligus menjadi “Exclusive Guide” dan Penterjemah untuk 


Co Rentmeester, (seorang Staff Senior Photorapher dari LIFE Magazine), Pemenang banyak penghargaan sebagai wartawan photo a.l 1967 Photo Press Grand Prize; 1967 Best Sport Picture Award of the World Press Photo Foundation;” Life Magazine Photographer of the Year- award for the coverage of the 1972 Olimpics.

” Melangon”,adat kebiasaan Orang Kubu, berpindah lokasi perkemahan, setelah hutan sekitar lokasinya kehabisan “produk hutan” yang biasa dikumpulkannya, seperti , rotan dan ‘jernang’,serta makanan berupa buah2an hutan, umbi2an, ikan,satwa perburuan dll-nya. )atau menhindar ‘wabah penyakit’ 


Adat Melangon
Bilamana ada anggota kelompok yang sakit maka si sakit, biasanya akan ditinggal seorang diri dalam perkemahan yang lama dan seluruh kelompok mencari lokasi perkemahan yang baru, agar si korban tidak menularkankan penyakit. Pada kelompoknya, bilamana si ‘korban”sembuh dan survive, maka dia akan mencari dan menyusul kelompoknya untuk bergabung kembali. Dan bilamana dia mati akan menjadi mangsa, makanan satwa buas dihutan itu.
Saya teringat ketika mempelajari Etnografi” PolarEskimo”, didaerah Kutub Utara, Bilamana seorang nenek merasa dirinya sudah tua dan sulit mengunyah ikan dan daging lagi, serta tidak bisa berbuat banyak untuk kelompoknya, maka dengan sukarela dia akan pergi seorang diri ke padang belantara dan membiarkan dirinya menjadi mangsa “Si nenek putih”, yaitu ’Polar Bear’, Beruang Kutub, agar beruang itu bisa hidup dan jadi gemuk, agar supaya dapat diburu si Pemburu Eskimo Kutub,untuk jadi bahan makanan anak cucu nenek tsb. Beginilah kearifan masyarakat sederhana yang hidupnya dekat dengan alam serta nila2 tradisionil menyangkut siklus dan kelangsungan hidupannya .
Proyek ini sangat menarik sebab saya mengantar Co Rentmeester mencari dan membuat Dokumentasi “Orang Kubu”, yang hidup berpindah-pindah, dalam sebuah kelompok“Band” terdiri dari sekitar 20- 40 orang, didalam satu wilayah tertentu di hutan belantara sekitar Rantau Limau Manis di Jambi,( ketika itu belum dibangun jalan Trans Sumatra).

Selain itu kami juga berburu’foto’dengan kamera untuk merekam kehidupan satwa liar di alam terbuka, antara lain sekelompok Gajah Liar di Rawa Seragih-Lampung Timur, dan Harimau Sumatra di Jambi.
Adapun berburu foto pada Satwa liar ditengah lingkungan alam, tidak semudah yang kupikir sebelumnya.
Persiapan pertama kita harus mencari informasi terbaru dari Pemburu setempat dimana habitat satwa yang dicari serta pola kebiasaan mereka mencari makan.Kemudian kita harus mempersiapkan sebuah ‘tree house’- rumah pohon, di dahan yang cukup tinggi dan diberi kamuflase daun dan ranting, agar tidak menyolok,Pondok ini dibangun pada tempat yang biasa dikunjungi atau dilewati satwa liar,ketika mencari makan. Walaupun penciumannya sangat tajam, bilamana kita berada jauh diatas pohon, maka bau kita tidak akan langsung terdeteksi satwa liar yang dibawah, kalaupun tercium, dikira bau itu terbawa angin berasal dari pemukiman yang jauh dari lokasi itu.


"Rombongan Gajah " 
Ketika menunggu diatas pohon pada jalur migrasi gajah dirawa Seragih, Lampung timur, perasaanku cukup tegang juga; walaupun penglihatan gajah sangat buruk tetapi pendengarannya sangat tajam, begitu juga penciumannya. Pada waktu berjalan dalam Rombongan mula2 akan terlihat adalah belalainya yang muncul diatas pucuk gelagah dan pohon2 rendah seperti periskop pada kapal selam.Kami diatas pohon berusaha untuk tidak bersuara, sebab bila gajah itu marah atau panik, maka dia akan mengamuk sambil mencabut , mematah2kan ranting dan dahan, lalu melemparkannya kemana2, dan kalau kebetulan mengenai kami bisa celaka., Rupanya rombongan yang kami tunggu terdiri dari 15-20 ekor gajah dewasa dan anak2nya. Untung mereka tidak langsung menuju rumah pohon kami, sebab mereka agak tersebar mencari makanannya berupa rumput, daun muda, umbut2 dan akar2 muda.
Persiapan memotret harimau di Jambi agak lebih rumit; setelah menemukan wawasan tempat harimau Sumatra biasa berkeliaran, Pada siang hari dibangun sebuah rumah pohon, pada tempat yang cukup tinggi dan terlindungi, sekitar 100 m dari situ dibuat semacam perangkap dari pohon dan ranting, dengan satu arah terbuka sekitar kurang dari 1 m persegi. Sebuah kamera Nikon, dipersiapkan dengan fokus menhadap pintu masuk, dan dibawah pintu masuk ditaruh semacam”electronic mat”, tikar electronis, yang bila mana terpijak akan memicu kamera merekamt gambar otomatis secara beruntun. Tikar itu ditutupi dengan lapisan tipis tanah, humus dan dedaunan kering. Di.antara pintu masuk dan kamera ditambatkan seekor kambing pada sebuah pasak sebagai umpan. Sebelum mahgrib kami semua telah siap berjaga2 dirumah pohon, memakai “off”-penangkal nyamuk/serangga’ insect repellent’ sebab walaupun berada tinggi diatas pohon, banyak nyamuk dimusim panas ketika itu, 
          "Harimau Sumatra siap menerkam "

Semalam penuh kami berjaga2 tetapi tidak terjadi apa2 sampai pagi harinya.
Salah seorang pemburu sarankan agar kita ganti kambing itu dengan ‘umpan’seekor anjing kampung yang bisa kita beli di desa terdekat (saya kurang setuju karena anjing adalah binatang kesayangan saya, tapi tak bisa berbuat apa2 demi misi pemotretan).Jadi malam itu seekor anjing pemburu yang masih remaja dipakai sebagai umpan, Ditinggal sendiri didalam hutan yang gelap anjing itu mulai mengaing-ngaing kemudian melolong dengan suara yang memilukan, karena ketakuan. Menjelang tengah malam terdengar auman si Raja Rimba yang cukup keras dari arah barat.Segera suara anjing berhenti melolong, pasti ketakutan.Bagi kami saja yang berada diatas pohon, mendengar auman si Raja Rimba yang menggelegar di alam terbuka ini melemaskan seluruh persendian tulang, suara nya yang dahsyat penuh wibawa dan terasa mengandung kekuatan mistik, melumpuhkan persendian tulang Sangat berbeda dengan harimau yang biasa kita lihat di Kebun Binatang ataupun di Sirkus yang nampak seperti seekor Kucing tetapi Besar.
Tiba2 terlihat lampu blits menyala beruntun tiga kali di tempat umpan tertambat, diiringi degan sebuah auman keras dan panjang, kemudian sunyi dan sepi mencekam tak terdegar apa2 lagi sampai pagi .
Diwaktu pagi hari dan aman, kami tergopoh2 turun menuju arena pembantaian, kami dapatkan si anjing masih hidup tetapi,duduk terkulai dan gemetar seluruh tubuhnya dengan ekor terlipat diantara kedua kaki belakangnya, pasti masih stress melewati peristiwa semalam; ketika diberi makan anjing ini tetap diam tak mau makan dengan badan yang masih tetap gemetar
Bekas tapak kaki Harimau terekam ditanah yang lembut dengan garis tengahnya lebih dari 20 cm, jadi Harimau semalam cukup besar dan ketika hasil pemotretan diperiksa , nampak ‘close up’ wajah mematikan ‘sang Raja Rimba’ yang siap menerkam mangsanya, Nampak pupil matanya mengecil, rupanya reflex mengecil ketika terkena silaunya lampu blits.Ternyata hanya berhasil terekam dua gambar saja. Lumayan pemotretan cukup sukses tanpa mengorbankan nyawa si anjing.


KISAH SI BUYUNG (True Story) dari Sumatra Barat, diceritakan kembali oleh : Herman Lantang.
Suatu pagi ditahun seribu Sembilan ratus tujuh puluhan, ketika berkemah dihutan dalam perjalanan pulang setelah mendaki Gn Kerinci kawan saya Hendra Goenawan, menemukan seekor anak kucing yang lucu tertidur dalam ranselnya, lalu dibawanya anak kucing itu pulang sebab dia ingin memeliharanya
.Anak kucing itu dipeliharanya, dengan penuh kasih sayang dan diberi nama kesayangan ‘Si Buyung’. Anak kucing itu diberi makan makanan seadanya, yaitu apa yang dimakan mereka sehari-hari dirumah, yaitu nasi dengan lauk dan sayur. Anak kucing itu tumbuh dengan cepat dan subur, semakin lama semakin besar , malah tumbuh lebih besar dari kucing dewasa,sebab ternyata yang dipeliharanya bukan anak kucing biasa tetapi seekor anak Harimau Sumatra.
“Si Buyung’ tumbuh menjadi seekor Harimau Sumatra Dewasa, tetapi tabiatnya sangat jinak dan tingkah lakunya seperti seekor kucing rumah biasa. Hendra membawanya kemana2 dan dia tidak pernah mengganggu orang lain di sekitarnya, tetapi sebagaimanapun juga Orang yang melihatnya tetap saja seram dan was-was, sebab sejinak bagaimanapun dia adalah seekor Harimau, sehingga pada suatu saat Pihak Kebun Binatang Padang menyuruh Hendra menyerahkan “si Buyung” ke Kebun Binatang Kota Padang, agar bisa dipelihara disitu tanpa menimbulkan ketakutan dan keresahan orang ditempat umum, waktupun berlalu.sampai satu saat Hendra mendapat kabar bahwa si Buyung sudah mati dan dikuburkan pihak Kebun Binatang. Lama kelamaan “Si Buyung” tinggal menjadi kenangan yang indah bagi Hendra.
Suatu ketika Hendra ber-kesempatan Dinas ke Australia sehubungan dengan pekerjaannya.Pada waktu luang dia berjalan2 ke ‘Sydney Zoo’, yang katanya memiliki seekor “Sumatran Tiger “dalam koleksi mereka,Hendra terkenang kembali akan ‘si Buyung’;memang benar terdapat seekor Harimau Sumatra dalam salah satu kandangnya, yang tak boleh didekati karena dinyatakan harimau itu ganas dan berbahaya.Diberi makan daging mentahpun tak mau dijamahnya. Hendra mendekati dan ingin tahu, Harimau ini sangat mirip ‘si Buyng’ tetapi lebih kurus dan tak bergairah, Hendra lebih mendekat, melewati garis batas maksimal yang diperbolehkan mendekat, sambil membisikkan nama “Buyung”,Tersentak Harimau itu mengangkat kepalanya yang terkulai ,mendekat dan menatap Hendra dengan semangat, ketika Hendra mengulurkan tangannya melewati jeruji kerangkeng besi, maka Harimauitu itu mencium dan menjilati tangan Hendra dengan manjanya dan Hendra segera membelai kepalanya. Ternyata ini benar2 ‘si Buyung ‘ yang diberitakan sudah mati. Kepada Petugas Kebun Binatang Hendra nyatakan bahwa Harimau itu adalah” Si Buyung”, harimau Peliharaanya., yang dinyatakan Kebun Binatang sudah mati.
Segera Hendra memesan Nasi Padang dengan gulai ayam dari Restoran Padang yang ada dikota Sidney. Sejurus kemudian Hendrapun masuk kedalam kandang, lalu duduk bersila dilantai berhadapan dengan si Buyung, kemudian mereka berdua santap basamo, menghabiskan Nasi Padang dari satu piring. . . .. Suatu Reuni yang mengharukan.

Catatan tambahan:

Ketika mendaki Gn Kerinci dari, Kersik-tuo, saya menemukan, jejak Harimau Sumatra yang masih segar, garis tengahnya lebih dari 20 cm, di pagi hari pertama memasuki hutan lereng Gn Kerinci diatas perkebunan teh Kayu-aro pada 28 Juni 1975.

Pada hari itu juga secara tiba2 pada ketinggian sebelum 2000 m, saya berpapasan dengan sepasang Rusa (mula2 betina dan kemudian jantan) dengan jarak kurang dari 5 meter,ketika itu saya seorang diri dan tidak bersuara, sempat saling menatap sejenak- karena terperanjat, sebelum mereka masing 2 kabur menghilang. Kalau melihat tatapan mata rusa yang sebegitu indah dan lugu, masih adakah Orang yang sampai hati menembak mati untuk membunuhnya? 1975  29 Juni,Turun “hails”-hujan es, sebesar butiran jagung,  disekitar reruntuhan bivak di Gn Kerinci, pada  ketinggian 2704 m dpl



4 komentar:

Katherin Meganis mengatakan...

halo, om herman lantang, thank you sudah share blog ini ke aku..

Herman Lantang mengatakan...

Your welcome Katherin, please see my latest article about the last remaining "Big Cats" roaming free in Nature (in Java); If you are in Jakarta again please call me.GBU

Propa Nanda mengatakan...

sebelumnya mohon maaf,saya mengajar di sebuah sekolah alternatif untuk masyarakat Orang Rimba di Bukit Duabelas Jambi,saya harap artikel ini tidak memuat gambar wanita Rimba yang sedang menyusui karena hal ini adalah larangan dan tabu yang di jaga oleh orang rimba,orang rimba melarang wanita dan anak di bawah umur untuk di foto. dan ini kearifan lokal yang layak di hormati..trimakasih

Unknown mengatakan...

Salam lestari,halo opung herman lantang, saya kagum dengan anda entah kapan kita akan bertemu..pada tahun tujuh puluan ada rupanya sudah menyeberang pulau sumatera. sudah bertemu dengan orang2 rimbah..di bukit dua belas.. saya aja yang pindah dari bengkulu padah tahaun 10-10-1995 kejambi di kabupaten merangin didesah sungai lalang kcmatan lembah masurai,, sampai sekarang saya belum pernah kebukit dua belas.. tapi kalau ketemu orang rimbah iya sering. salam dari tridi..