This Contemplation
is tributed to the late “Yayah” Drs. Yudi Hidayat Sutarnadi S.H. (M-008-UI), Archivist Leiden Universiteit graduated, who passed away on March 30th
2013, the beloved husband of “Yayu” Prof Dr. Rahayu Surtiati (M-004-UI) Universite’ de Sorbonne graduated, both also the founding fathers of MAPALA-UI. “Yayah” was leading the MAPALA UI delegation to the Gladian –IV, in Makassar on December
1974, who formulated the KODE ETIK
PENCINTA ALAM INDONESIA
“Pencinta Alam”, is an Indonesian
terminology that cannot be translated literally into English: “Pencinta Alam”, are those who enjoy,
observe, love, respect, and appreciate the splendor of the Great Outdoors -“The
Nature”, as The Almighty’s Amazing Creation, that should be preserved and
protected.
Mapalawan dan
Mapalawati, are men
and woman members, this terminology derives from MAPALA, the
abbreviation of Mahasiswa Pencinta Alam,;
MAPALA-U.I is the first students
club using this phrase,
as a name for the Club, with a specific “Ethical Code and Oath”.
Nowadays,
the term Mapala is largely used as a “classificatory
terminology” by the majority of students clubs enjoying the Great Outdoors, it doesn’t
matter by preserving and protecting it nor by damaging and abusing it with
disrespect.
.M.T. Zen born 23rd August 1931, is a man of Culture- Budayawan, Scientist/ Researcher, Philosopher, Humanist, Historian, Mathematician, Physics, Columnist writer, Science and Popular Science writer, was once an advisor to the late Menteri Riset dan Teknologi: B.J..Habibie. He is still active and energic, his juniors and students addressed him as : “ Aki “ , Grand- pa in Sundanese language.
He was also a teacher, advisor and motivator of
the late Soe
Hok-gie (M-007-UI) and myself to establish
MAPALA-UI in 1964. (HOL)
Bandung, 29 Desember 1965
Sdr. Mapalawan/Mapalawati Jth:
Pada saat terahir mendjelang pergantian
tahun ini perkenankanlah aku untuk menjampaikan: ”Selamat Tahun Baru dan
Selamat berhari Natal”
Dimeja tulisku terdapat beberapa copy dari
majalah Mapala. Dengan perasaan jang tulus ichlas ku hendak menjatakan
keterharuan serta kebanggaanku atas usaha kalian, karena aku dapat mengetahui
dari pengalaman sendiri betapa sulitnja bagi mahasiswa Indonesia untuk
menerbitkan suatu organ jang sebagaimana sederhana bentuknja.
Selanjutnya, selain dari mengutjapkan Selamat
tahun baru ku sangat berharap bahwa
tahun 1966 dapat memberikan kesuburan dan kedjajaan yang lebih memuaskan bagi
Mapala dalam arti kata Semoga semakin banjaklah pengikut-pengikut Mapala dan
semakin banjak pula puntjak2 jang engkau
taklukkan, semakin banyak lembah2 perawan yang engkau tempuh dan semakin banjak
pulalah air sutji jang dari sungai dipegunungan jang dapat engkau hirup.
Ingaltah engkau Mapalawan/Mapalawati bahwa
dimanapun engkau berada, dalam perdjalananmu, betapapun terdjalnya dinding
lembah jang harus kau lewati, betapa tinggi puntjak yang harus kau daki, ingatlah
bahwa semua itu adalah bagian dari bumi Tanah Air kita yang terjinta...
Indonesia.
Djika engkau telah sampai hingga ketaraf ini
maka dipelosok dunia manapun engkau berada, maupun dibawah naungan Matterhorn, Jungefrau,
dipuntjak El Capitan di Sierra Nevada, didjaluran glasial di Rocky Mountain
atau di Alaska,di Appalachian di daerah Kasmir atau Nepal, di Hokkaido maupun
di sekitar gunung Fudjijama jang sutji
ataupun puntjak2 pegunungan di Selandia baru...engkau senantiasa dan selalu
akan mengarahkan wadjahmu kedaerah chatulistiwa diantara benua Australia dan
Asia ...jaitu Ibu Pertiwi Indonesia...die Heilige Heimat, karena ia adalah
Mekkah dan Roma bagimu.
Seorang
jang selalu berdialog dengan alam, dengan bintang2 dilangit, dengan
lembah2 dan pegunungan, dengan aliran sungai dan deburan ombak dipantai, akan mendapat kesucian djiwa,
dan apabila kau senantiasa berdialog dengan alam tanah airmu sendiri engkau
akan memupuk perasaan tjinta pada tanah airmu dan perasaan patriotisme dalam
arti kata jang sebenarnya. Tetapi hendaklah engkau berdialog dengan alam dengan
sungguh2nja dan sedjujur2nja bukan berdialog dari mimbar
pidato atau ruangan istana dan dikelilingi oleh gadis2.
Seorang
jang telah mendapatkan kesutjian
djiwa karena selalu berdialog dengan alam bebas dapat mentjintai Tanah Airnya
dengan hati jang sutji bagaikan kesudcian air telaga dipegunungan jang tinggi. Djika
engkau menjadi orang jang demikian engkau akan menghadapi hidup ini dengan
tiada gentar dan engkau tidak akan mentjutjurkan air mata setetespun apabila
engkau nanti terpaksa berpisah dari segala jang ada didunia ini. Engkau akan
mendjadi Pentjinta Alam yang baik dan engkau akan menjadi seorang Manusia...jang
dapat mengatakan dengan djujur pada dirimu bahwa:
“soal mati bukan mendjadi urusanmu, tetapi jang menjadi persoalan
pertama ialah apa jang dapat kau perbuat dengan hidupmu jang pendek dan singkat
didunia ini untuk kebadjikan rakyat dan bangsamu.”
Djika nanti pada waktu “Pengadilan
Achir”engkau akan ditanja oleh si “Maha Pentjipta”, maka dengan hati yang
tenang dan ichlas engkau akan berani dan tenang menatap “wadjah Nja”dan berkata
:”aku telah melihat,dan menikmati dan mentjintai dengan segenap hati dan sanubariku, segala apa jang Kau tjiptakan, semua gunung2mu, lembah2,
sungai2, telaga2 dan samudramu, semua bintang2Mu dan pepohonan serta makhluk
baik dipadang rumput maupun dipadang pasir. Engkau tidak mentjiptakanja dengan
sia2, semua tjiptaanMu memang betul2 hebat
dan indah”.
Kukira,dimata si Pentjipta seorang yang
demikian adalah djauh lebih berharga dari seorang jang menamatkan membatja
kitab AL-Qur’an 1000x tanpa mengerti dan tanpa menjadari bahwa kebesaran si Pentjipta
dapat dilihat dari tjiptaanNja, jaitu pada mutiara embun di pagi jang
bertaburan bersenda gurau dikuntjup kembang melati dipagi hari, pada bisikan
air sungai dipegunungan jang tinggi, pada rasa tjinta seorang gadis terhadap kekasihnja
atau pada rasa setia kawan seorang pemuda pada sahabatnja.
Djaganlah engkau nanti
mendjadi seorang dihadapan si Pentjipta jang hanja dapat mengemukakan fakta
kering tentang berapa ribu kali engkau bersudjud untuk menjembahNja tetapi
tiada dapat mendjawab apabila ditanjakan kepadamu: ”Bagaimana dengan Pegunungan
Tengger dan Diengku? Merapi dan danau Toba-ku jang kuTjiptakan
dengan susah pajah ? Tidakkah kau perhatikan itu?”
Dalam hidupku memang beruntung. Aku telah
dapat melihat dan mendaki kebanjakan puntjak jang bertaburan di Sierra Nevada, di
Rocky Mountains, di Appalachians, di Alaska dan Alpen serta Pyrenean. Kutelah
melihat dan mengundjungi daerah utara Kashmir dan Nepal, di Hokkaido dan daerah sekitar Djepang Tengah.
Aku telah pula mendaki hampir semua puntjak jang menhias kepulauan Hawaii dan
baru2 ini kudapat mengundjungi puntjak Tonggariro, Ngauroehoe dan Ruapehu di
Selandia Baru danku telah berdjalan sepandjang kedua pulau jang membentuk
Selandia Baru. Akan tetapi pertjajalah bahwa pegunungan dan daerah terindah
jang pernah kulihat adalah daerah kepulauan Indonesia. Bagiku alam kepulauan
Indonesia merupakan hasil paduan suara dan nada dari Orkes Symponia jang indah.
Kujakin sekali, sesuatu seperti kepulauan Indonesia ini dilahirkan hanja satu
kali dalam irama alam semesta jang maha besar.
Kepada segenap Mapalawan/Mapalawati
kusampaikan salamku jang hangat dan sampai berdjumpa kembali dipuntjak atau
lembah jang lain dari tanah air kita. Sekian.
M.Taufik Zen
(Note: Since early 1950-ties until mid 1960-ties, Prof.Dr. M.T.Zen, has visited or explored all the
mountains mentioned in the above letter. Prof.Dr. M.T.Zen, is also a coleaque and close friend
of Prof. Dr. Haroun Tashief, a French Citiezen born in Algiers
Africa, a famous Volcanologist
specialized in observing Mt. Merapi in Central Java,
and was once the Environmental Minister of the Republic of France.
HOL)
“PENCINTA
ALAM FAMILY”- Left to right: Andre Zen , the son of “Aki”; my brother
Iwan Tofani and wife Erti; “Nini” Cinta and husband “Aki”- my brother M.Taufik
Zen; with grandson Arfa; my wife Joyce and “Opa”Herman Lantang. April, 5th 2013